Si Paling Pribumi

Si Paling Pribumi

Dialah pengukur kedalaman akar, validator keaslian darah. Jari telunjuknya selalu terangkat, menunjuk setiap helai peta di dinding sejarah, seolah garis khatulistiwa itu ia yang menariknya. Dia, Si Paling Pribumi, yang lisannya adalah patok batas.

Setiap pagi, ia menyeduh kopi sambil mengunggah status tentang kemurnian, tetapi sarapannya adalah sereal impor dengan topping gaya asing. Siangnya, ia berteriak tentang nasionalisme, menuntut semua kembali ke tradisi, sementara dia sendiri lupa cara menenun tikar, dan lebih mahir bermain game online dari konsol luar.

Ketika ada festival budaya, dialah yang paling depan, berfoto dengan pakaian adat yang disewa. Tentu saja, ia akan mengunggahnya dengan caption tentang bagaimana "kita harus menjaga warisan leluhur," namun setelah swafoto selesai, ia buru-buru melepasnya karena gatal, lalu pergi ke mal yang arsitekturnya meniru gaya Eropa.

Dia membenci "intervensi asing," tetapi gawai, kendaraan, dan tontonan favoritnya datang dari sana. Dia mengecam para "pendatang," tetapi lupa bahwa empat puluh persen menu makanannya adalah hasil persilangan budaya yang panjang dan rumit. Ia berkoar tentang tanah air, namun ia menjual tanah warisan keluarganya kepada pengembang, asalkan harganya cocok dan pembayarannya lancar.

Si Paling Pribumi ini adalah pahlawan di media sosial, penjaga gawang budaya di kolom komentar. Namun di dunia nyata, ia hanyalah topeng, topeng kayu jati tua yang dilapisi cat minyak modern, tergantung di dinding rumah minimalis. Ia menuntut orang lain untuk kembali ke masa lalu, tetapi ia sendiri sibuk menikmati fasilitas masa depan.

Ia adalah ironi berjalan: sebuah monumen kemunafikan yang didirikan di atas fondasi kebanggaan yang berongga. Ia hanya sibuk mengklaim status, bukan mengisi substansi. Dan lucunya, ia tidak pernah menyadari, bahwa satu-satunya hal yang paling asli dari dirinya adalah kemampuannya untuk merasa paling benar di antara yang lain.

Ia tersenyum bangga, karena ia merasa sudah menyelesaikan tugasnya sebagai "pewaris sah" hanya dengan berbicara. Sementara budayanya, perlahan-lahan, layu di belakang punggungnya.


Canklong, Oktober 2025 

Tangerang


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyesalan didalam perpisahan

ATAS NAMA

Kebebasan yang hilang